PACITAN,wartakita.co – Festival Ronthek Pacitan 2025 memasuki hari terakhir pada Senin (7/7) malam. Penampilan memukau ronthek Laras HINOCOROKO jadi pamungkas gelaran ronthek tahun 2025 ini.
Mengusung tema “Asal Muasal Dusun Kradenan Desa Bangunsari”, kelompok ronthek ini menyajikan pertunjukan seni yang kental akan nilai sejarah dan spiritual. Ronthek Kota Pacitan ini tak sekedar menyuguhkan hiburan, tetapi media edukasi yang menginspirasi.
Sejak tabuhan kentongan pertama terdengar, atmosfer magic langsung menyelimuti panggung. Deru ritmis ronthek paduan kentongan bambu, kenong, gong, dan bunyi-bunyian tradisional lainnya membangun suasana mistis yang menghantar penonton menelusuri lorong-lorong waktu.
Baca juga : Bangkitkan Jejak Talas Talesan, Ronthek Rancak Bumbung Pringkuku Curi Perhatian
Irama gamelan laras pelog yang mengalun lirih lalu mengeras, seolah menandai perjalanan berat Mbah Raden menembus belantara Wengker Kidul.
Para penari tampil dalam balutan kostum khas kerajaan Mataram abad ke-18. Busana dominan warna cokelat tanah dan hitam, dihiasi aksen emas dan batik motif parang, memunculkan kesan agung sekaligus bersahaja.
Sosok Mbah Raden digambarkan oleh seorang pria dengan jubah hitam dan blangkon hitam kuning, membawa tongkat simbol spiritualitas dan kepemimpinan.
Baca juga : Penampilan Cetar Kecamatan Bandar Bertajuk Lembah Lembu
Adegan perjalanan penuh rintangan disampaikan melalui tarian ekspresif yang menggambarkan ketegangan dan kekhawatiran. Gerakan tari yang dinamis diiringi efek cahaya remang-remang menciptakan sensasi mistik, ditambah efek asap tipis yang mengepul dari belakang panggung menambah kesan magis seolah penonton diajak menyusuri hutan angker bersama tokoh utama.
Di tengah pertunjukan, irama ronthek tiba-tiba melambat dan berganti menjadi alunan lirih gamelan, menggambarkan suasana kontemplatif ketika Mbah Raden tiba di tempat yang kelak bernama Bangunsari. Narasi mengenai Watu Lawang disampaikan dalam kidung berbahasa Jawa, dengan latar visual batu besar yang diproyeksikan pada layar, memperkuat kesan sakral.
“Beliau bukan hanya seorang tokoh spiritual, tapi juga pembawa budaya,” ungkap Camat Pacitan, Sugiyem kepada awak media
Menurut Camat, Mbah Raden menghidupkan tradisi gamelan di tempat bernama Watu Lawang, sebuah batu besar berlubang seperti pintu yang diyakini menjadi tempat gamelan gaib. Konon, suara gamelan hanya terdengar saat malam tiba.
Namun, legenda ini berubah ketika alat gamelan yang dipinjam dari tempat itu tidak dikembalikan utuh. Sejak kejadian itu, pintu Watu Lawang diyakini tertutup secara gaib, dan suara gamelan tak pernah terdengar lagi hingga sekarang.
Seniman Pacitan, Aminudin Sastropawiro, mengapresiasi penampilan Laras HONOCOROKO.
“Ini bukan sekadar pertunjukan, tapi pelestarian budaya yang menyampaikan pelajaran sejarah dan spiritualitas. Inilah esensi festival, membumikan budaya melalui cara yang kontekstual dan bermakna,” ujarnya.
Dalam kisahnya, sebelum Mbah Raden wafat, tersurat pesan agar wilayah tempat tinggalnya dinamai Kradenan, sebuah nama yang kini menjadi identitas dusun di Desa Bangunsari. Nama itu jadi simbol bahwa sejarah dan kearifan lokal tetap hidup dalam memori dan budaya warga.
Melalui kreativitas dan semangat pelestarian seni, Grup Ronthek Laras HONOCOROKO berhasil mengangkat kembali kisah yang nyaris terlupakan, menjadikan panggung ronthek sebagai media edukasi budaya yang hidup bukan sekadar tontonan, tetapi juga tuntunan. (red/adv).