Paradoks Emoji dalam Alat Komunikasi

Penulis : Mar’atul Afifah

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Email : maratulafifah2005@gmail.com

 

Semua orang menggunakan emoji, ribuan simbol kecil ini membanjiri kotak pesan setiap hari. Emoji diciptakan untuk mengekspresikan emosi dan memperjelas makna teks, kini emoji digunakan secara lebih kreatif dan bervariasi oleh penggunanya. Dalam komunikasi yang dilakukan lewat layar, atau yang disebut Computer Mediated Communication (CMC), banyak isyarat nonverbal seperti senyum, anggukan, atau nada suara yang hilang.  Emoji hadir sebagai pengganti bahasa tubuh di dunia digital. Perbedaan interpretasi mengenai emoji bukanlah kelemahan, melainkan kekayaan. Satu simbol sederhana dapat membawa makna yang berlapis-lapis, tergantung pada siapa yang mengirim dan siapa yang menerimanya.

Emoji menghadirkan dua efek yang saling bertolak belakang dalam komunikasi digital. Di satu sisi, simbol-simbol kecil ini berhasil menghidupkan percakapan dengan menyampaikan ekspresi wajah dan perasaan yang sulit diungkapkan melalui teks biasa. Namun, di sisi lain, penggunaan emoji justru menciptakan bentuk eksklusi baru.

Kajian semiotika mempelajari cara manusia membentuk dan memahami makna melalui tanda. Semiotika merupakan sebuah bentuk perkembangan yang mendasari terbentuknya suatu pemahaman yang merujuk pada terbentuknya sebuah makna. Semiotika menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam teori komunikasi.  Menurut Charles Sanders Pierce dalam (Nisa 2025. Analisis Semiotika terhadap Penggunaan Emoji dalam Komunikasi Daring oleh Remaja Jurnal Ilmiah Research Student) mendefinisikan semiotika sebagai studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, yakni cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Pengunaan emoji sebagai hubungan tanda dengan makna, misalnya emoji 😭 yang awalnya menunjukkan kesedihan, kini sering dipakai untuk menandai sesuatu yang lucu atau menyenangkan. Ketika seseorang mengirim emoji ini, penerima pesan bisa salah paham, mengira si pengirim sedang bersedih, padahal sebenarnya ia sedang tertawa terbahak-bahak. Memang, penggunaan emoji dalam konteks seperti ini bisa menimbulkan kebingungan atau salah tafsir dalam komunikasi sehari-hari.

Perubahan makna emoji juga menunjukkan bahwa bahasa digital bersifat dinamis dan terus berkembang mengikuti kebiasaan penggunanya. Melalui konsep intertekstualitas dan kode sosial, makna emoji dapat berubah sesuai konteks percakapan dan kesepahaman antara pengguna. Selama kedua pihak memahami konteks tersebut, penggunaan emoji dengan makna yang berbeda justru dapat memperkaya ekspresi dan menunjukkan kreativitas dalam berkomunikasi. Karena itu, penggunaan emoji 😭 untuk menandai sesuatu yang lucu bukanlah hal yang salah, melainkan bagian dari evolusi cara manusia mengekspresikan perasaan di dunia digital.

Budaya yang berbeda juga membuat orang memaknai emoji dengan cara yang berbeda pula. Menurut penelitian Leonardi (2022), emoji tidak punya arti baku seperti kata dalam kamus, sehingga tiap orang bebas menafsirkannya sesuai latar belakang budayanya. Misalnya, Emoji bayi 👶 bisa diartikan “lucu dan polos” oleh orang Melayu, tapi dianggap mewakili “makhluk jahat” oleh orang Tionghoa. Emoji tangan terlipat 🙏 bisa berarti “terima kasih” bagi orang India, tapi dianggap sebagai “salam penghormatan” bagi orang Tionghoa. Emoji tepuk tangan 👏 bisa dimaknai “saya setuju” oleh orang Melayu, tapi diartikan “saya kagum” oleh orang India. Sayangnya, penelitian tentang cara mengatasi kesalahpahaman akibat perbedaan budaya ini masih sangat minim (Wan Nailah dkk., 2023)

Penggunaan emoji pada variasi warna kulit, sebagian besar orang lebih memilih emoji dengan warna kulit putih (👍🏻) atau putih kecokelatan (👍🏼). Emoji kulit warna putih dianggap “enak diliat” dan “cerah,” menyatakan ketidaksukaannya pada emoji berkulit hitam (👍🏿), dengan komentar bahwa warna itu “jelek” dan bahkan mengaku tidak suka pada orang berkulit hitam karena dianggap “terlihat kotor.”

Pandangan Roland Barthes bisa membantu untuk memahami makna di balik penggunaan emoji warna kulit. Barthes menjelaskan bahwa dalam budaya, ada makna-makna yang tampak wajar padahal sebenarnya hasil dari konstruksi sosial inilah yang disebut mitos budaya. Dalam konteks emoji, konstruksi sosial tentang “kulit putih sebagai simbol keindahan” dan “kulit hitam sebagai sesuatu yang buruk” masih terus direproduksi melalui simbol digital yang digunakan setiap hari. Artinya, ruang digital sebenarnya tidak benar-benar netral. Emoji yang terlihat sederhana ternyata bisa menjadi sarana untuk melanjutkan pandangan lama tentang siapa yang dianggap “lebih baik” dan siapa yang tidak.

Penggunaan emoji dalam komunikasi digital tidak hanya berfungsi untuk menambah ekspresi dalam pesan, tetapi juga mencerminkan cara manusia membentuk dan memaknai tanda di dunia modern. Emoji menunjukkan bahwa bahasa digital bersifat dinamis, maknanya bisa berubah sesuai konteks dan budaya penggunanya. Namun, di balik keunikannya, emoji juga dapat merefleksikan pandangan sosial yang tidak disadari, melalui kajian semiotika, dapat dilihat bahwa makna emoji bersifat berubah-ubah sesuai dengan konteks, budaya, dan kebiasaan penggunanya. Dengan demikian, emoji menjadi cermin bagaimana teknologi, budaya, dan cara berpikir manusia saling berhubungan dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

Mar’atul Afifah, lahir di Boyolali, 19 Mei 2005. Alamat penulis di Desa Karangmojo, Klego, Boyolali. Dan Berdomisili di Pucangan Rt.03/Rw.12, Kartasura, Kab. Sukoharjo. Penulis memulai pendidikan dari RA Perwanida, kemudian MI Miftahul Ulum Krangmojo, MTs Miftahul Ulum Krangmojo, MA Al Azhar Andong Boyolali. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan S1 Prodi Tadris Bahasa Indonesia di UIN Raden Mas Said Surakarta. Penulis aktif mengikuti organisasi internal dan juga eksternal. Penulis dapat dihubungi melalui surat elektronik. maratulafifah2005@gmail.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *