Legenda Dusun Nyemono : Warisan Leluhur di Tanah Palumbungan

Makam leluhur Nyemono di Desa Plumbungan, Kecamatan Kebonagung. (Foto/Istimewa).

PACITAN,wartakita.co- Di kaki perbukitan hijau, diantara gemericik sungai yang tak pernah kering, berdiri sebuah dusun kecil yang dikenal sebagai Nyemono, bagian dari wilayah Desa Plumbungan. Namun, di masa lalu, dusun ini bernama Palumbungan, yang bermakna “lumbung pangan”, tempat di mana tanah selalu subur dan air mengalir tanpa henti, memberi kehidupan bagi penduduknya.

Jejak Syeh Subakir dan Tapak Sunan

Konon, pada suatu masa yang jauh sebelum Islam tersebar luas di tanah Jawa, seorang ulama besar bernama Syeh Subakir datang ke tempat ini. Ia dikenal sebagai wali yang membuka tanah Jawa dan menyingkirkan energi-energi negatif yang menghalangi tersebarnya ajaran Islam.

Di tanah Nyemono, beliau menancapkan tongkatnya dan meninggalkan Tapak Sunan, sebuah batu bertanda jejak spiritual yang hingga kini masih dihormati oleh penduduk.

Tak hanya itu, sebuah sorban putih yang dahulu digunakan oleh salah satu wali masih tersimpan dengan baik. Setiap bulan Longkang (bulan Jawa), masyarakat Nyemono berkumpul untuk melakukan ritual pencucian sorban di sungai yang mengalir di dusun mereka. Ritual ini menjadi simbol pembersihan diri dan penghormatan kepada para leluhur yang telah membawa keberkahan bagi tanah mereka.

Mbah Embun Jolondriyo: Pengelana dari Mataram

Di masa berikutnya, seorang pria pengelana yang berasal dari tanah Mataram tiba di Nyemono. Ia dikenal sebagai Mbah Embun Jolondriyo, sosok bijak yang dipercaya memiliki ilmu tinggi dan kedekatan dengan alam.

Di bawah bimbingannya, masyarakat mulai memahami cara bercocok tanam yang lebih baik, bagaimana menjaga aliran air agar tak pernah kering, dan bagaimana hidup selaras dengan alam.

Mbah Embun tak hanya membawa pengetahuan, tetapi juga berkah. Setelah kedatangannya, sawah-sawah di Nyemono selalu hijau, panen berlimpah, dan air tak pernah surut meski kemarau panjang melanda. Keberkahan inilah yang menjadikan Palumbungan sebagai “lumbung pangan” yang selalu cukup bagi warganya.

Mbah Embun kemudian menetap di dusun ini hingga akhir hayatnya, dan tempat ia bermeditasi kini menjadi petilasan yang masih dijaga oleh penduduk setempat sebagai tanda penghormatan.

Sekar Gadung Melati: Perempuan Pengelana dan Tarian Sakral

Tak hanya Mbah Embun, suatu ketika, seorang perempuan berwibawa bernama Sekar Gadung Melati tiba di dusun ini. Tak banyak yang tahu asal-usulnya, namun keberadaannya membawa kehidupan sosial yang lebih teratur. Ia mengajarkan penduduk cara menjaga harmoni dalam bermasyarakat, saling membantu, dan menjaga adat-istiadat nenek moyang.

Sebagai bentuk penghormatan, penduduk Nyemono menciptakan Tari Sekar Gadung Melati, sebuah tarian yang menggambarkan kelembutan, kebijaksanaan, dan kekuatan seorang perempuan. Tarian ini diiringi oleh gamelan dan hingga kini masih dipentaskan dalam acara pernikahan serta ritual adat sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur.

Nyemono dan Warisan yang Tak Pudar

Seiring berjalannya waktu, nama Palumbungan perlahan berubah menjadi Plumbungan karena perkembangan bahasa dan kebiasaan masyarakat yang lebih modern. Namun, kisah tentang Syeh Subakir, Mbah Embun Jolondriyo, dan Sekar Gadung Melati tetap hidup dalam ingatan penduduk.

Setiap tahun, pada bulan-bulan tertentu, mereka berkumpul untuk menjaga warisan ini—mencuci sorban, berziarah ke petilasan, dan menarik-narik  Tari Sekar Gadung Melati dengan penuh penghayatan.

Bagi mereka, Nyemono bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tanah warisan yang diberkahi oleh para leluhur. Air yang tak pernah kering adalah tanda bahwa keberkahan masih mengalir, dan selama mereka menjaga tradisi, tanah mereka akan terus makmur.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *